Rindu Ibu, Rindu yang Tak Pernah Berujung

Rindu Ibu, rindu yang tak pernah berujung - Beberapa waktu lalu, salah satu tema tantangan foto di Instagram adalah sesuatu yang mengingatkan akan sosok Ibu. Banyak yang bisa saya ingat, seperti yang pernah saya tulis tentang Melati untuk Ibu. Disitu saya sebut bahwa buku juga bisa membuat saya ingat akan beliau. Ibu saya memang suka sekali membaca. Entah buku atau majalah. Kesukaannya itu menular kepada kami, anak-anaknya juga para cucu.

Ketika kami kecil, meminta mainan pasti akan ada larangan. Tapi akan lebih mudah dipenuhi jika kami meminta bahan bacaan berupa majalah. Saya ingat sekali, saat saya masih kelas 1 SD dan masih tinggal di Jakarta, Ibu mengijinkan kami berlangganan majalah Bobo. Sementara Ibu sendiri berlangganan majalah yang lain. Selain majalah Bobo, ada juga majalah Kuncung. Aduhhh, ini bacaan anak tahun berapa coba. Masih ada yang ingat majalah Kuncung ? Kalau ada, berarti usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Dan ketahuan umurnya, hehehe.

Setelah kami kembali dan menetap di Parongpong, kebiasaan membaca itu tidak hilang. Meski dulu memang agak sulit untuk berlangganan majalah di sini. Selain dari meminjam teman, saya lupa lagi, dulu bisa dapat bahan bacaan darimana ya. Yang pasti saat itu saya masih bisa membaca komik-komik karya HC. Andersen, Tintin, Deni Manusia Ikan, Nina, juga novel lima sekawan, Trio Detektif dan lain-lain. Ngga lama, ada satu orang loper koran di Parongpong. Mang satu-satunya nih, ngga ada lagi selain dia. Seneng bangetlah. Ibu mengijinkan kami berlangganan majalah juga koran. Padahal kondisi keuangan kami tidak sebaik sekarang. 

Sekitar tahun 2011, Ibu terkena stroke untuk pertama kalinya. Sejak itu selama empat tahun, hampir 6 bulan sekali Ibu menjalani rawat inap di Rumah Sakit dan selalu saya yang menemani sebagai anak perempuan satu-satunya. Makin hari, daya ingat Ibu semakin berkurang akibat stroke. Begitupun dengan kemampuannya membaca. Walau begitu, kadang-kadang saya memberinya majalah. Sekedar untuk melihat-lihat gambarnya. Hingga akhirnya Ibu meninggalkan kami di bulan Januari 2015. Ah, sudahlah. Saya tidak akan cerita panjang lebar tentang kondisi Ibu saat sakit hingga meninggal dunia. Yang ada malah saya berurai air mata. 

Lebih baik cerita lain tentang Ibu. Menurut Bapak saya, Ibu sebelum menikah adalah seorang aktivis perempuan di masanya. Senang berorganisasi. Sempat menjadi anggota salah satu partai politik. Dan masih kata Bapak, jika tidak keburu menikah, Ibu bisa jadi sudah menjadi anggota dewan di daerahnya. Karena ketika itu sudah dicalonkan oleh partainya. Kadang suka ngga percaya mendengar cerita ini. Masak iya Ibu bisa aktif berorganisasi. Ibu itu bukan seorang yang menggebu-gebu. Cenderung sabar walau memang ada sedikit sifat keras hati. Dan untuk kesukaan yang satu ini, sama sekali ngga menular ke anak-anaknya. Ngga tau tuh, ngga ada yang suka berorganisasi, apalagi organisasi politik. Sempet sih adik saya aktif di salah satu partai, itupun alasannya karena setelah lulus kuliah belum dapat kerjaan. Setelah kerja dan menikah, boro-boro mikirin partai, sibuk aja ngurus keluarga. 

 

Tentang foto di atas, itu sebenarnya buku Kho Ping Hoo koleksi kakak/adik saya dan sudah pasti Ibu saya ngga membaca buku itu. Tapi bukunya seksi buat di foto. Hasilnya bagus kan ? Iyain aja deh biar cepet, hehehe.

Selamat Hari Ibu untuk semua perempuan Indonesia. Semakin menjadi pribadi yang berarti.