Cerita Anak SMA : Pilih dengan sepenuh hati

Cerita anak SMA itu pasti banyak sekali kenangannya. Tentang cinta, sahabat, guru, ekskul,  iseng, jahil, banyak banget deh. Sempat membaca tulisan teman-teman yang lain, hampir sama dengan yang ibu alami saat SMA. Sekarang ibu mau bercerita tentang apa ya .. hmmmm ...

Gambar diambil dari sini 

Jaman ibu, ada tiga jurusan yang bisa di pilih saat naik ke kelas dua. Ada A1 (Fisika), A2 (Biologi), A3 (Sosial), A4 (Bahasa). Hanya saja di sekolah ibu, cuma ada 3 pilihan. Jurusan Bahasa tidak ada. Seingat ibu, saat itu hanya ada beberapa sekolah yang menyediakan jurusan Bahasa karena sudah dilengkapi fasilitas labolatorium Bahasa.

Minat ibu dari kecil sebenarnya lebih cenderung ke Bahasa. Karena tidak ada jurusan itu di sekolah, otomatis harus memilih A1, A2 atau A3. Nilai rata-rata di buku rapor memungkinkan untuk bisa masuk jurusan ketiganya. Nah, oleh wali kelas 1, sudah ditulis di raport bahwa ibu naik ke kelas 2 dengan jurusan A1. Dan Mbah-pun langsung setuju tanpa melihat dengan baik nilai-nilai ibu. Mbah juga agak memaksa sih masuk jurusan itu, dengan alasan buku-buku ngga usah beli lagi karena bisa pakai punya kakak atau tetangga yang kebanyakan dari A1. Lalu, seperti biasa kebanyakan pandangan orang, isinya orang-orang pintar semua.

Padahal, jika dilihat nilainya satu persatu, nilai IPA ibu itu pas-pasan. Saat kenaikan kelas itu memang sih ibu menjadi juara dua di kelas, tapi yang membuat nilai ibu baik adalah mata pelajaran sosial dan bahasa. Dengan setengah hati ibu masuk juga jurusan A1. 

Nah, dimulai nih cerita anak SMA yang gagal karena salah jurusan. Otak ibu memang otak sosial banget. Terbukti pelajaran IPA yang dominan di kelas A1 ini tidak bisa ibu ikuti dengan baik. Hasil raport semester awal di kelas 2, peringkat ibu menurun drastis.  Eh, tapi emang bener kok, yang dari kelas 1 dapat peringkat dua, langsung ke peringkat 22. Hadeuh .. pas banget dengan momen pembagian raport di hari ibu tanggal 22 Desember.

Apakah setelah itu ibu makin bersemangat untuk memperbaiki ? Iya ! Karena ibu malu dengan teman-teman sekelas. Tapi ternyata, meski sudah memaksimalkan diri, tetap saja hasilnya sama. Rumus-rumus fisika, kimia, matematika itu ngga ada satupun yang nempel di otak ibu. Logika ibu ngga bisa mencerna pelajaran itu. Tapi jangan tanya tentang pelajaran sejarah, geografi, bahasa indonesia dan pelajaran hapalan lainnya. Ibu bisa lho menjawab soal ulangan sejarah, persis dengan kalimat yang ibu tulis di buku catatan. Begitupun dengan titik komanya.

Lulus juga sih dari SMA, tapi NEM (Nilai Ebtanas Murni) jelekkkkkkkkkkkk banget, kecuali Bahasa Indonesia, hihihihih .... Empat mata pelajaran lain yang di Ebtanaskan saat itu, yaitu Fisika, Kimia, Matematika, Biologi,  bener-bener ke laut deh. 

Dan tahukah nilai mata pelajaran apa yang paling tinggi di ijazah ? Sejarah dong :-D. Padahal sama guru sejarah itu gak begitu suka, eh malah dapat nilai 9. Sementara nilai pelajaran eksaknya ngepas banget.

Kalau ditanya salah satu penyesalan saat SMA, ya ini jawabannya. Ibu ngga berani nolak pilihan Mbah. Dan Mbah-pun tidak meilhat dengan jeli kemampuan masing-masing anak. Mbah menyamaratakan kemampuan ibu dengan kakak & adik yang memang otak-nya IPA banget. Ibu yakin kok, niat Mbah itu baik. Mungkin melihat ibu yang dapat peringkat dua saat kenaikan kelas itu dan prestasi sejak di SD, disangkanya ibu cerdas di bidang IPA. 

Apa yang ibu alami ini, akhirnya jadi pelajaran buat ibu dan saudara-saudara yang lain dalam mengasuh anak-anaknya. Ada satu keponakan yang pernah ibu ceritakan beberapa waktu lalu, minatnya itu lebih ke menggambar dan Bahasa Jepang. Orang tuanya (kakak ibu), mendukung penuh. Sejak SD sudah ikut les menggambar, menginjak SMP sudah ikut les bahasa Jepang. Udah gitu, anaknya juga punya konsistensi yang tinggi. Berani bilang ngga kalau tidak suka.

Cerita anak SMA versi keponakan ini berbeda jauh dengan ibu. Saat penjurusanpun dia menolak masuk ke kelas IPA. Walau gurunya memaksa, dia tetap keukeuh ngga mau. Malah bilang gini sama gurunya, "kalau saya tetap dimasukkan ke kelas IPA, saya tidak akan sekolah.". Nah lho ...

Sempat cerita juga sama ibu, anak IPS di sekolahnya agak tidak di anggap. Selalu saja anak IPA yang dinomorsatukan. Iya sih, karena ibu pernah sekali ikut rapat di sekolahnya (mewakili kakak yang memang tidak bisa datang). Waktu ibu lihat, orang tua anak-anak IPA dibagikan nilai-nilai try out. Waktu ibu tanya ke salah satu gurunya tentang nilai try out anak IPS, jawabnya belum di print. Kok bisa, padahal jumlah anak IPS lebih sedikit di banding IPA. Dan saat rapat itupun, ada salah satu orang tua murid yang anaknya di IPS protes, kenapa yang di bahas hanya tentang anak IPA saja. Anak IPS seperti di anak tirikan.

Tentang keponakan ibu itu, dia berhasil membuktikan bahwa anak IPS tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan semua kerja keras dan konsistensinya, akhirnya dia berhasil masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain di ITB melalui jalur SNMPTN (Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Subhanallah ... Semua bangga dong, termasuk beberapa guru dan teman-temannya yang awalnya menganggap dia gak bisa apa-apa.

Mbah yang awalnya mendoakan cucunya itu tembus ke Jurusan Bahasa Jepang juga ikutan senang dan bangga. Walau sebenarnya Mbah kurang sreg dengan jurusan Seni Rupa. Katanya, nanti jadi tukang lukisan seperti di jalan Braga, hihihi .... Ngga tau aja tuh, jaman sekarang yang namanya seni bisa banyak menghasilkan kesuksesan.

Maklum sih, dengan usia Mbah yang sangat sepuh dan pengalaman hidup yang pernah beliau jalani, agak susah juga merubah pandangannya. Walau bagaimanapun, tetap kok beliau mendoakan yang terbaik buat cucunya.

Apa yang ibu tulis ini bukan mau menyalahkan siapapun ya, karena semua sudah terjadi. Yang ibu jalani saat ini sudah harus ibu syukuri. Banyak pengalaman yang bisa diambil. Diantaranya, orang tua harus lebih  mengerti lagi dengan potensi anak. Anak-anak juga harus berani mengungkapkan minatnya pada orang tua. Harus punya sikap untuk memilih dengan sepenuh hati. Dan jika sudah berani memilih, harus berani  pula bertanggung jawab dan konsisten dengan pilihannya itu. *Banyak harusnya ya... :-D

Weks, ternyata panjang juga tulisan tentang cerita anak SMA ini.

*mudah-mudahan postingan ini menambah konten positif tentang cerita anak sma di internet.